Friday, August 24, 2012

Selamatkan Pernikahan Anda Sebelum Pernikahan itu Dimulai (Bagian II)


Selamatkan Pernikahan Anda Sebelum Pernikahan itu Dimulai
(Tujuh pertanyaan yang perlu diajukan sebelum dan sesudah anda menikah)
Bagian II

Bab empat memulai dengan pertanyaan yang terdengar sangat aneh, namun sangat benar, yaitu “Dapatkah anda mengatakan apa yang anda maksudkan dan mengerti apa yang anda dengar?” Respon kita mungkin adalah dengan segera menjawab, “ya iya lah…” Namun jika dicermati baik-baik, hal ini yang seringkali kita gagal lakukan di dalam pernikahan. Seringkali kita mengatakan apa yang tidak kita maksudkan (misalkan, “kamu ini istri pemalas” padahal yang mau dikatakan adalah, “saya ini pulang kantor sudah lapar, masa belum selesai juga masaknya, saya ini lapar sekali.”). Dan sebaliknya seringkali juga kita gagal mengerti apa yang kita dengar, (misalkan, “kamu ini istri pemalas”, artinya adalah, “suami saya jengkel karena dia capai dan lapar pulang dari kantor tapi saya belum siapkan makanannya.”

Perbedaan jenis kelamin ternyata berakibat pada perbedaan-perbedaan lain pula, seperti perbedaan perasaan, kecenderungan sikap dan kebutuhan mental. Nah, hal-hal yang seringkali tidak kita pahami ini dijabarkan pada bab 5 untuk menolong pasangan dapat saling mengerti perbedaan-perbedaan yang ada. Misalkan wanita butuh dicintai, dalam bentuk didengarkan, ngobrol, disayang. Sedangkan bagi pria makna cinta itu diwujudkan dalam memberi uang, memberi rumah, tidak selingkuh. Contoh lain, pria butuh dihargai/dikagumi, pria suka untuk dipuji atas apa yang telah dia kerjakan. Jika istri kurang memuji/mengagumi apa yang dilakukan suaminya bisa saja relasi menjadi dingin. Perbedaan ini dapat membawa hal-hal buruk dalam pernikahan. Kabar baiknya, perbedaan-perbedaan ini bisa dijembatani, salah satunya dengan cara mengetahui perbedaan itu dan mencoba untuk menyikapinya dengan baik. 

Banyak orang berpikir bahwa pasangan yang kurang bertengkar adalah pasangan yang baik (apalagi yang tidak pernah bertengkar, pasti adalah pasangan surgawi). Namun proses menjadi satu sebagai suami istri memang bukan jalan yang mulus. Dua pribadi yang berbeda menjadi satu pastilah menimbulkan konflik atau pertengkaran. Oleh karena pertengkaran itu tidak terhindarkan bahkan diperlukan maka bab 6 memberi petunjuk kepada pembaca untuk boleh tahu cara bertengkar dengan baik. 

Bab terakhir menutup dengan suatu hal yang paling penting dalam pernikahan yaitu dimensi rohani. Berdasarkan penelitian disebutkan bahwa, “…ciri-ciri dari pasangan-pasangan yang berbahagia dan telah menikah lebih dari dua puluh tahuh…adalah ‘iman kepada Allah dan komitmen rohani.’”

Jadi buku ini benar-benar dapat membantu pasangan yang memiliki rencana akan menikah sehingga mereka dapat memasuki pernikahan dengan persiapan yang tepat untuk menjalani komitmen seumur hidup. Namun tidak dapat disangkali buku ini juga perlu dibaca oleh yang telah menikah, karena buku ini pun dapat membantu untuk “menyelamatkan” pernikahan yang telah dan sedang dijalani.

No comments:

Post a Comment