Resensi
“Sepuluh Besar Kesalahan yang Dibuat
Para Pemimpin”
Diterbitkan
oleh Interaksara, Batam Center, 2002.
Oleh Hanz Finzel, pernah menjadi
pendeta dan juga pernah sebagai Direktur Eksekutif dari CB Internasional. Lewat
pengalaman dan studinya yang hingga tingkat doktorat, dia mampu untuk
menggabungkan prinsip-prinsip firman
Tuhan, teori-teori kepemimpinan dan pengalaman nyata memimpin dalam gereja
maupun organisasi besar yang rumit.
Inilah rangkuman isi bukunya:
Menjadi pemimpin yang baik bukanlah
sekedar bakat alam yang muncul begitu saja dari dalam. Para pemimpin harus
belajar dari pemimpin sebelumnya dan pemimpin lain. Sebagian pemimpin belajar
dari contoh-contoh kepemimpinan yang buruk dan menghindari kesalahan yang sama
sehingga menjadi pemimpin yang lebih baik. Sayangnya, sebagian besar pemimpin
lain belajar dari contoh-contoh yang buruk dan mengikuti cara dan gaya
kepemimpinan yang buruk itu karena berpikir itu adalah hal yang benar!
Sebenarnya apakah pemimpin itu.
Kepemimpin itu sebenarnya bukanlah sekedar masalah posisi atau kekuasaan atau
uang. Kepemiminan itu adalah tentang pengaruh. Kepemimpinan berarti kemampuan
untuk mempengaruhi orang menujuk kepada suatu tujuan/visi. Hal ini membuat
kepemimpinan tidak mudah, karena jabatan, kekuasaan atau uang bisa membantu
mempengaruhi orang menuju suatu tujuan, tapi sikap, karakter dan visi seorang
pemimpinlah yang membuat pengaruh itu masuk ke dalam hati dan pikiran seseorang
serta menggerakkan pengikut dari dalam.
Inilah beberapa sikap-sikap salah
dalam kepemimpinan yang harus dihindari dan dicarikan alternatif sikap yang
lebih baik dalam kepemimpinan:
Sikap top-down:
Seorang pemimpin seringkali merasa
berhak, bahkan wajib memerintah bawahannya, menekan bawahannya agar takut dan
hormat padanya. Dalam kondisi sekarang (generasi muda) tampaknya pendekatan ini
justru melemahkan kepemimpinan dan semangat kerja. Seorang pemimpin yang baik
selain memerintah dia juga harus mampu untuk menanamkan kesadaran kerja dalam
diri pekerja, sehingga pekerja merasakan penting dan bahagia tatkala dia
melakukan kerjanya dengan baik. Tips-tips untuk mencapai hal ini adalah dengan
memberikan kesempatan berinovasi, memberikan kepercayaan berupa proyek-proyek
yang perlu, memberikan pujian dan motivasi dengan jelas, menciptakan suasana
kerja yang menyenangkan serta pemimpin mau untuk turun bersama-sama pekerjanya
sehingga tercipta suatu keteladanan dan kedekatan.
Mendahulukan pekerjaan administratif ketimbang urusan sumber daya manusia
Tatkala pekerjaan/pelayanan semakin
besar maka yang terjadi adalah urusan administrasi/birokrasi juga meningkat.
Justru pada kondisi ini, pemimpin akhirnya seringkali berfokus untuk mengurusi
urusan administrasi dengan dalih agar semua tertata rapi/terorganisir dengan
baik. Penulis memperingatkan
kecenderungan ini sebagai hal yang berbahaya. Pemimpin justru harus tetap fokus
pada pengembangan sumber daya manusia. Semakin besar organisasi justru
orang-orang yang di dalamnya semakin membutuhkan hubungan pribadi dengan sang
pemimpin, mereka justru membutuhkan kehadiran seorang yang memperhatikan dan
memimpin mereka, mereka membutuhkan sentuhan dan kehangatan (suasana kerja
seringkali menjadi dingin dan impersonal tatkala birokrasi meningkat). Finzel
menuliskan, “manusia mengubah manusia lewat kontak langsung”, jadi lewat kontak
langsung, kepercayaan, visi dan penghormatan dapat bersemi dengan alami.
Tidak adanya penegasan
Pemimpin seringkali tidak memberikan
penegasan kepada bawahannya. Mana yang disukai dan dipuji, mana yang salah dan tidak
baik. Ada tradisi pemikiran Asia, “kalau melakukan yang benar tidak perlu
dipuji, karena memang seharusnya lakukan yang benar” sebaliknya, “kalau
melakukan yang salah harus ditegur/dihukum sangat keras supaya kapok”, “tidak
usah bicara banyak, yang penting sudah ditingkatkan gajinya dan sudah dikurangi
beban kerjanya pasti dia senang.” Padahal pemimpin diharapkan mampu memberikan
ketenangan dan kejelasan denganmemberikan pujian yang tepat dan teguran yang
jelas akan apa yang salah. Jika pemimpin mendengarkan dan memberikan respon
yang baik maka pengikut dapat merasakan semangat kerja lagi. Dengan memberikan
pujian yang tepat justru pekerja mendapatkan dirinya berarti bagi
perusahaan/pimpinan.
Tak ada tempat bagi “orang yang lain daripada yang lain”
Pemimpin seringkali mendapati dalam
organisasi/perusahaanya mendapati tipe “orang yang lain daripada yang lain”.
Orang tipe ini seringkali pikiran, idenya, tindakannya tidak seperti pekerja
pada umumnya, melainkan cenderung inovatif, idealis, rela susah dan
bersemangat. Sayangnya banyak pemimpin (apalagi dalam organisasi yang sudah
lama/tua sehingga tidak suka menerima terobosan baru) justru menganggap orang
tipe ini sebagai penyakit/gangguan yang harus dibuang. Padahal menurut Finzel,
orang-orang seperti inilah yang dapat menjadi “darah baru” bagi kelangsungan
suatu organisasi atau perusahaan. Mereka inilah justru calon pemimpin baru bagi
masa depan (sayangnya banyak pemimpin lama yang lupa bahwa mereka dulu juga
adalah tipe ini). Orang tipe seperti ini membutuhkan bimbingan pimpinan serta
ruang bebas untuk berkembang tanpa diikat birokrasi yang terlalu ketat.
Kediktatoran dalam pengambilan keputusan
Ada suatu tradisi yang tak disadari,
yaitu seorang pemimpin haruslah tahu semua hal! Tentu hal ini timbul karena
pemimpin bisa dihina atau disepelekan jika kurang tahu daripada pengikutnya.
Namun kecenderungan ekstrim bahwa pemimpin harus tahu (atau sok tahu) akan
segala hal membuat organisasi jatuh (karena tidak seorang pun maha tahu).
Seorang pemimpin yang baik mengetahui keterbatasannya dan membiarkan ide-ide
yang lebih baik muncul dari antara pengikut/pekerja untuk kemudian saling
melengkapi. Dengan hal ini maka pekerja akan merasa terpacu, merasa ikut
memiliki dan berusaha untuk melaksanakan ide bersama ini agar berhasil.
Pemimpin yang berhasil seperti ini disimpulkan dengan sebutan pemimpin yang fasilitatif (memfasilitasi untuk timbulnya ide-ide dari bawah serta memfasilitasi bawahan untuk berkembang
sesuai potensinya).
No comments:
Post a Comment